Tak ada anak yang dilahirkan persis sama, bahkan kember identik sekalipun tetap memiliki keunikan tersendiri. Jika yang kembar saja memiliki perbedaan, bagaimana dengan anak yang dilahirkan dari latar belakang budaya, bahasa dan adat istiadat yang beragam? Tentu saja itu semua akan memberikan corak dan warna yang mewakili kekhasan tempatnya berasal serta bagaimana pola asuh yang telah diterapkan selama hidupnya. Sejak dini, anak-anak pada dasarnya sudah ‘disentuh’ oleh atsmosfir keberagaman. Mulai dari keberagaman sifat dan karakter keluarga inti yang terrefleksi dalam keberagaman tingkah polah serta kebutuhan, sampai pada keberagaman yang ada di lingkungan sekitar tempat tinggalnya.
Ojala
(2010) mengutip pendapat Bennett et al., (2007) yang mengatakan bahwa saat ini
konteks pedagogis telah mengarah pada pedagogi keberagaman. Keberagaman ini
menurut Ojala mencakup banyak aspek, seperti jenis kelamin, latar belakang
budaya dan sosial ekonomi siswa, strategi pendidikan dan kurikuler,
pengelompokan anak-anak, dan sebagainya. Dalam pedagogi tujuannya adalah untuk
menggabungkan pendekatan sosial dan pendidikan untuk membantu keluarga dan
anak-anak yang dikecualikan secara sosial.
Senada
dengan pendapat Benneth, Lopintsova et al,.(2012) mensitasi pemikiran berbagai
ahli tentang pendidikan multi kultur sejak dini, antara lain :
1.
Siraj-Blatchford
dan Clarke (2000) berpendapat bahwa sangat penting bagi setiap individu di
dunia modern untuk hidup harmonis dengan orang lain, mengetahui dari mana
mereka sendiri dan orang lain berasal. Perilaku orang dewasa secara langsung
memengaruhi pembentukan pandangan dunia anak - jika orang dewasa ingin agar
anak menerima orang lain, ia harus menerima orang lain sendiri
2.
Pai
(1984) dalam Gay (1998) menunjukkan bahwa budaya tidak dapat dipisahkan dari
perilaku orang, sehingga budaya dan pendidikan multikultural harus menjadi
bagian dari kebijakan hak asasi manusia di mana-mana.
3.
Turkovich
(1998) menjelaskan bahwa ketika globalisasi terjadi dan ketika monokulturalisme
secara bertahap menghilang, orang-orang di seluruh dunia membutuhkan alat dan
pengetahuan untuk memahami budaya mereka sendiri dan budaya lain dengan lebih
baik.
4.
Louis
(2009) menjelaskan beberapa karakteristik utama yang khas untuk anak-anak usia
4 sampai 5. Beberapa di antaranya adalah: anak-anak mulai mengakui fakta bahwa
ada budaya yang berbeda selain mereka sendiri; mereka mulai mengasosiasikan
diri dengan orang-orang dan budaya yang mengelilingi mereka, yang pada
gilirannya memicu realisasi yang disebutkan di atas.
Lopintsova
et al,.(2012) menyimpulkan bahwa anak usia dini terutama yang telah berusia
lima tahun adalah kelompok yang paling tepat untuk proyek pendidikan
multikultur yang ia dan teamnya lakukan, dimana mereka benar-benar menghargai
kesempatan untuk bekerja dengan kelompok usia ini selama proyek tersebut
berlangsung
a. Hakikat
dan Tujuan Pendidikan Multi Kultur
Abdullah (2009) mensitasi
pendapat Gollnick dan Chinn (1990) tentang pengertian Pendidikan multikultural
yang mengacu pada pembelajaran pengetahuan yang sesuai, sikap dan keterampilan
yang berkaitan dengan rasa hormat dan penghargaan terhadap budaya yang berbeda
dan perbedaan lain yang termasuk ras, etnis, agama dll. Mereka merekomendasikan lima tujuan untuk
pendidikan multikultural. Tujuan-tujuan ini juga menekankan isu-isu di luar
batas-batas masalah etnis atau rasial yaitu : 1) promosi kekuatan dan nilai
keanekaragaman budaya, 1) penekanan pada hak asasi manusia dan menghormati
mereka yang berbeda dari dirinya sendiri, 3) penerimaan pilihan hidup
alternatif untuk orang, 4) promosi keadilan sosial dan kesetaraan untuk semua
orang, dan 5) penekanan pada pemerataan kekuasaan dan pendapatan antar
kelompok.
Lopintsova et al,.(2012) juga
mengumpulkan persepsi para ahli terkait konsep dan hakikat dan tujuan
pendidikan multikultur, antara lain :
1)
Menurut
Gay (1998) dalam menyatakan bahwa inti dari pendidikan multikultural terletak
pada membawa pendidikan yang unggul dan implementasinya selaras dengan kualitas
manusia dan masyarakat kontemporer yang berbeda. Lopintsova et al,.(2012)
menyimpulkan bahwa dari pernyataan tersebut, orang harus mengakui fakta bahwa
keragaman budaya, etnis, dan rasial mempengaruhi masyarakat di semua tingkatan.
Pendidikan multikultural bertujuan untuk mempengaruhi masyarakat dan pendidikan
secara umum.
2)
Venninen
(2009) mengatakan bahwa Edukasi budaya bertujuan untuk meningkatkan tingkat
partisipasi dan mencegah pengecualian. Ketika pendidikan multikultural
dipandang mempengaruhi semua maka tidak ada pendidik dapat menarik diri dari
tanggung jawab mengajar tentang multikulturalisme.
3)
Räsänen
(1998, hal. 32) juga berpendapat bahwa masa kanak-kanak adalah waktu, ketika
dasar pandangan dunia kita mulai terbentuk dan terbukti sulit untuk
merekonstruksi pandangan itu di kemudian hari. Konsekuensinya adalah penting
untuk mulai mendapatkan pengetahuan tentang multikulturalisme sedini mungkin.
4)
Pitkänen
(1998) juga mengingatkan kita bahwa salah satu tujuan pendidikan multikultural
adalah menjadi lebih menerima orang lain dan mengakui fakta bahwa tidak ada
satu-satunya cara yang benar dalam melakukan sesuatu.
5)
Ramsey
menjelaskan beberapa tujuan pendidikan multikultural : a) anak-anak harus
mengenal diri mereka dengan baik, untuk memahami budaya tempat mereka tinggal
dan dunia di sekitar mereka ; b) Kedua rasa memiliki harus ditetapkan ; c)
anak-anak perlu belajar bertanya dan menganalisis hal-hal yang menjadi
perhatian mereka ; d) anak-anak perlu percaya bahwa mereka adalah anggota aktif
dari komunitas mereka dan bahwa mereka dapat mempengaruhi pengambilan keputusan
; e) pendidikan harus tersedia untuk semua anak ; f) semua anak harus didorong
untuk menggunakan imajinasi dan kreativitas mereka untuk meningkatkan kualitas
hidup.
b. Urgensi
Pendidikan Multi Kultur Di PAUD
Fenomena
kemajuan teknologi dan kemudahan transportasi membuat dunia menjadi tanpa
sekat. Siapa saja dapat berpeluang untuk menginjakkkan kaki atau sekedar
‘melihat’ ke berbagai belahan dunia lain yang memiliki segudang perbedaan yang
bisa berpotensi menyebabkan terjadinya berbagai "benturan" karena
keberagaman budaya dan sudut pandang. Kondisi ini tentu saja menjadi alarm
bahwa pendidikan multikulturalisme dalam pendidikan menjadi sangat urgen. Swann
Report (DES, 1985) dalam Abdullah (2009) menekankan perlunya mengajar anak-anak
tentang bagaimana menghormati perbedaan etnis dan budaya dan menerima mereka
sebagai bagian dari kekayaan budaya kehidupan di dunia modern kita, dan bukan
sebagai ancaman.
Menurut
Gay (1998) dalam Lopintsova et al,.(2012) inti dari pendidikan multikultural
terletak pada membawa pendidikan yang unggul dan implementasinya selaras dengan
kualitas manusia dan kontemporer masyarakat yang berbeda. Berdasarkan pendapat
tersebut Lopintsova et al, (2012)
menyimpulkan bahwa semua orang harus mengakui fakta bahwa keragaman budaya,
etnis, dan rasial mempengaruhi masyarakat di semua tingkatan. Pendidikan
multikultural bertujuan untuk mempengaruhi masyarakat dan pendidikan secara
umum. Lopintsova et al, (2012) juga
mengutip pendapat Ramsey (2004) bahwa panduan pendidikan multikultural bagi
anak-anak akan membentu mereka untuk mengenali masalah yang berbeda dalam
multikulturalisme dan situasi yang terkait dengannya dan untuk menolak
diskriminasi
c. Strategi
menerapkan Pendidikan Multi Kultur
Beberapa
strategi tentang bagaimana mensosialisasikan pendidikan multi kultur
disampaikan oleh Abdullah (2009) melalui pemikiran Lynch dan Hanson (1998) yang
memberi tahu bahwa “pemahaman budaya dalam budaya pertama terjadi lebih awal
dan biasanya didirikan pada usia 5”. Mereka melanjutkan dengan mengatakan,
“anak-anak belajar pola budaya baru dengan lebih mudah daripada orang dewasa”.
Anak-anak kecil mampu belajar bahwa kita semua sama dan semuanya berbeda dalam
cara-cara tertentu. Bahkan, penelitian juga menunjukkan bahwa anak-anak tidak
sepenuhnya bebas dari bias dan prasangka.
Abdullah
(2009) juga menjelaskan bahwa Studi (Glover 1996; Palmer 1990; Ramsey &
Myers 1990) telah menunjukkan bahwa anak-anak yang sudah berumur tiga tahun
perlu pemberitahuan perbedaan seperti kulit, mata dan warna rambut. Louis
(2009) dalam Lopintsova et al,.(2012)
berpendapat bahwa kesadaran budaya dan pandangan dunia dapat berkembang melalui
kegiatan mempraktekkan banyak keterampilan yang berbeda.
Selanjutnya
Abdullah (2009) berpendapat bahwa sebagai bagian dari sosialisasi multi kultur
adalah dimana anak-anak mengembangkan identitas diri mereka dengan
membandingkan diri mereka sendiri dengan orang lain. Mereka belajar bahwa
mereka termasuk kelompok-kelompok tertentu dan bukan yang lain karena kesamaan
dan perbedaan yang terlihat. Dengan mengamati bagaimana orang-orang di sekitar
mereka bereaksi dan menanggapi perbedaan-perbedaan ini, mereka melihat apa yang
bernilai dan apa yang tidak dihargai. Mereka mulai mengembangkan perasaan
positif atau negatif tentang perbedaan yang diamati. Perasaan ini membentuk
dasar penilaian evaluatif apakah perbedaan ini "baik" atau "buruk".
Abdullah
(2009) menilai bahwa Layanan anak usia dini, dan media massa juga dapat
memainkan peran penting dalam mengembangkan sikap dan perilaku anak-anak
terhadap perbedaan. Anak-anak belajar untuk memperlakukan orang lain secara
berbeda atas dasar ras, jenis kelamin, usia, kemampuan, agama dan warisan
budaya baik secara langsung atau perwakilan melalui proses bertahap sosialisasi
dan enkulturasi. Anak-anak juga mampu menjadi "guru" atau
mempengaruhi orang dewasa ketika mereka mentransfer apa yang mereka pelajari di
pusat perawatan anak usia dini.
Lopintsova et al
(2012) lebih lanjut menambahkan bahwa persepsi diri dan lingkungan juga
dibangun melalui partisipasi aktif dengan lingkungan. Belajar adalah proses
yang berkelanjutan; oleh karena itu pandangan dunia terus berkembang. Citra
dunia terbentuk sebagai struktur mental, di mana anak mengklasifikasikan dan
menafsirkan pengalaman barunya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar